Kita semua tentu sudah tahu betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin, jangankan bangsa yang sebesar bangsa kita ini, dalam aturan syara’ bahkan hanya beberapa orang saja dalam perjalanan hendaknya ada di antara mereka yang ditunjuk sebagai pimpinan. Ibn Taimiyah didalam al hisbah menyatakan bahwa pemimpin dibentuk tidak lain adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memerintahkan kebaikan dan menghapus kebathilan.
Menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, karena yang dipimpin adalah manusia, sedangkan manusia mempunyai isi kepala yang berbeda beda, beda pola pikirnya, beda keinginannya dan beda pula tujuan hidup yang hendak capainya. Betapa berat amanat yang harus dipikul oleh seorang pemimpin terutama menegakkan keadilan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu dalam pentas sejarah seorang sahabat dan tabiin banyak yang enggan menerima jabatan, seandainya tidak karena panggilan kewajaiban didalam dirinya.
Pemimpin yang amanah menjadi jalan cepat menuju ampunan dan kemulyaan dari rabb-nya, bahkan keutamaannya tidak akan ditolak do’anya, ia akan mendapat naungan dari Allah di akhirat kelak. Namun sebaliknya pemimpin yang tidak amanah, tidak menjadikan landasan hukum sebagai patokan aktifitasnya, enggan berfikir mensejahterakan ummat yang dipimpinnya, maka keadaannya akan hina dina di hadapan Allah swt.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27).