Pages - Menu

Khutbah Jumat tentang Motif Menjadi Pemimpin Syahwat atau Amanat

Kita semua tentu sudah tahu betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin, jangankan bangsa yang sebesar bangsa kita ini, dalam aturan syara’ bahkan hanya beberapa orang saja dalam perjalanan hendaknya ada di antara mereka yang ditunjuk sebagai pimpinan. Ibn Taimiyah didalam al hisbah menyatakan bahwa pemimpin dibentuk tidak lain adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memerintahkan kebaikan dan menghapus kebathilan.

Menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, karena yang dipimpin adalah manusia, sedangkan manusia mempunyai isi kepala yang berbeda beda, beda pola pikirnya, beda keinginannya dan beda pula tujuan hidup yang hendak capainya. Betapa berat amanat yang harus dipikul oleh seorang pemimpin terutama menegakkan keadilan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu dalam pentas sejarah seorang sahabat dan tabiin banyak yang enggan menerima jabatan, seandainya tidak karena panggilan kewajaiban didalam dirinya.

Pemimpin yang amanah menjadi jalan cepat menuju ampunan dan kemulyaan dari rabb-nya, bahkan keutamaannya tidak akan ditolak do’anya, ia akan mendapat naungan dari Allah di akhirat kelak. Namun sebaliknya pemimpin yang tidak amanah, tidak menjadikan landasan hukum sebagai patokan aktifitasnya, enggan berfikir mensejahterakan ummat yang dipimpinnya, maka keadaannya akan hina dina di hadapan Allah swt.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27).

Sebagai seorang muslim tentu kita tahu kisah pelimpahan Khalifah (presiden) Abu Bakar saat menunjuk Umar bin Khattab sebagai calon penggantinya, Umar menangis tersedu-sedu dalam tangisnya beliau mengatakan “jika Engkau benar mencintaiku, janganlah kau bebankan amanat itu ke pundakku!”. Untaian tangis Umar bin Khattab tersebut menunjukkan betapa beratnya beban amanat yang diemban sebagai seorang penguasa,

Sahabat sekaliber Umar ra, yang mempunyai kecerdasan, hidup dalam kesederhanaan, imannya kuat tak mudah goyah, ketegasannya tak pernah terabaikan serta keberaniannya tak diragukan masih merasa berat menerima beban amanat sebagai penguasa, apalagi bila amanat itu diberikan kepada orang yang kecerdasannya pas-pasan, keberaniannya mudah dikalahkan, serta sifat tegasnya mudah lelap oleh iming-iming suap. Tentu bukan menjadi rahmat akan tetapi malah menjadi laknat baginya

Sahabat Nabi Miqdad bin Amr sang pemberani di medan perang pernah ditunjuk oleh baginda Nabi saw sebagai gubernur di sebuah wilayah, beberapa bulan setelah itu ditanyakan kabarnya, Miqdad bin Amr menjawab: “Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang."

Begitu pula dialami oleh Umar bin Abdul Aziz, beliau bermandikan air mata saat ditunjuk sebagai khalifah karena takut tidak mampu memikul beban amanat yang teramat berat, bukan berpesta ria atau syukuran seperti sekarang
-o0o-
Jama’ah Jumat rahimakumullah
Kepemimpinan adalah Amanat dari ummat untuk mengurus kesejahteraan orang banyak, jabatan adalah pelayan public, tetapi trend saat ini menjadi pelayan seolah menjadi predikat yang perebutkan. Kekuasaan sepertinya tidak dipikirkan tanggungjawabnya sebagai amanat tetapi lebih kepada hasrat menjadi penguasa, jabatan bukan diberikan tetapi diminta, ada baiknya kita simak Sabda Nabi saw dibawah ini 

يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بن سَمُرَةَ لاَ تَسْألِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَها عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْها
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). ” Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih

Dalam Islam amanat adalah dasar bagi siapa saja yang diangkat menjadi pemimpin baik skala kecil maupun besar, Dalam al Qur-an terdapat sejumlah ayat yang menegaskan keharusan pemimpin melaksanakan amanat.
“Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu untuk menyampaikan hak-hak orang lain (amanat). Dan jika kamu memutuskan hukuman maka putuskanlah dengan adil”. Amanat juga merupakan bagian dari keimanan. Nabi saw pernah menyatakan : “tidak ada iman bagi orang yang tidak menjaga amanat” (QS Al-Nisa' [4]: 58-59).

Imam Nawawi ra berkata, “Ini pokok penting yang menunjukkan agar kita menjauhi kekuasaan lebih-lebih bagi orang yang lemah. Orang lemah yang dimaksud adalah yang mencari kepemimpinan padahal ia bukan ahlinya dan tidak mampu berbuat adil, tapi inilah realitas yang menghiasi para penggila kekuasaan.

Sungguh benar prediksi Rasulullah saw
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ علي الإِمَارَةِ وَ سَتَكُوْنُ نَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. ” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7148), untuk mendapatkan gambaran lebih jelas silahkan baca Penguasanya Singa, Menterinya Srigala
. Wallahu a’lam.”